• Info menarik nih gan

    Loading...

    Minggu, 12 Februari 2017

    17 Maret 2012

    Bulan-bulan sekarang adalah musim hujan. Mulai dari pagi langit sudah mendung dan hujan turun perlahan. Cuaca semakin terasa dingin dan mencekam dengan kabut yang menutupi pandangan. Aturan yang tidak boleh memakai jaket di sekolah kini tak ada artinya. Ya mau bagaimana lagi. Kalau tidak pakai jaket bisa-bisa badan kaku dibekukan cuaca. Jalan menjadi becek dan licin. Tanah bercampur air menjadi lumpur tipis di lantai depan perpustakaan. Saluran air di depan perpus mengalirkan air warna coklat. Air hujan di tanah merembes ke sepatu vans KW ku. Menembus kaos kaki membecekkan telapak kaki. Membuatnya basah. Namun kembang yang ditanam di depan perpus malah terlihat elok. Bulir hujan membuatnya bergoyang-goyang seolah menyapaku untuk segera masuk ke perpustakaan. Sebetulnya tujuanku memang ke sana.
    Musim hujan tidak menjadi halangan untuk guru olahraga memberi tugas. Hari selasa lalu adalah jadwal renang. Ada dua cara untuk mendapat nilai jika tidak ikut renang. Yang pertama cukup bayar "tiket" sebesar 10rb. Kedua menggambar gaya renang di kertas HVS. Tidak boleh di print. Karena tidak ikut renang dan tidak mau mendapat nilai "palsu", akhirnya aku memilih cara kedua untuk mendapatkan nilai. Walaupun sebetulnya aku tidak bisa menggambar.(Menggambar pohon bambu saja malah seperti cacing minta di rukiyah) Meski begitu tetap aku paksakan. Di perpustakaan aku minta bantuan Edy untuk membantuku. Dia mahir sekali menggambar. Kebetulan juga kami sama-sama tidak ikut renang. Cocok! Team Up! Kami mencari referensi gambar melalui buku-buku yang bertebaran di rak. Internet  susah. 
    "Dy kamu gambar gaya renang apa? Harus beda ya!"Tanyaku pada Edy
    "Aku kupu-kupu. Kamu?"Jawab Edy
    "Aku mau cari gaya renang kodok. Kodok yang berenang pakai gaya bebas. Bantu gambarnya ya!"
    "Siap"Edy
    Setelah menemukan referensi yang pas, sedikit-sedikit kami menggambar gaya renang yang kami pilih dengan keterangan di bawahnya. Menit-menit berlalu. Tanpa aku sadari perpustakaan sudah penuh saja. Ternyata bukan hanya kami berdua yang tidak ikut renang. Kelas lain juga banyak. Karena buku pelajaran olahraga terbatas, kami bergantian meminjam buku.
    "Hai, boleh aku pinjem bukunya?"Suara seorang gadis menjalar ke telingaku
    "Oh... boleh-boleh. Kita juga udah selesai ko"Jawab Edy
    "Sekalian duduk di sini aja. Meja yang lain penuh"Tawarku pada gadis itu
    Tanpa banyak basa-basi, dia lalu duduk bersama kami. Di meja yang seperti tempat makan orang jepang ini kami duduk menyilangkan kaki.
    "JODIIII, JODIII, SINI JOD"Teriak seorang gadis dari arah depan. Kebetulan kami duduk di meja paling belakang dari pintu masuk. Dekat dengan tiga komputer perpus.
    Suara gadis itu membuat kupingku sakit.
    "Oi Kampret, jangan berisik di perpustakaan!"Sentak bapak penjaga perpustakaan. Namanya Bapak Hendrickson. Kami biasa memanggilnya pak Hendrik.
    Gadis gendut berkacamata yang tadi berteriak itu sekarang berbsisik. Dengan suara pelan dia berkata:
    "Jodiii, siniii, gabung sama kita"
    Gadis bernama Jodi yang baru sebentar duduk satu meja bersama kami lalu beranjak pergi ke meja dimana bisikan itu ia dengar.
    "Aku ke sana ya"Dia meninggalkan kami dengan kalimat yang singkat. Senyum sedikit di paksakan dan pandangan yang terlihat dalam. Kami hanya mengangguk.
    Baru kali ini aku melihat mata yang seperti itu. Mata yang memancarkan aura. Jika kamu melihatnya seolah kamu melihat sebuah misteri yang belum terungkap. Ada cerita menarik di balik mata coklat itu yang membuatku penasaran ingin membacanya.
    "Oy dy"Aku
    "Apa?"Edy
    "Menurut kamu gimana tentang si Jodi itu?"
    "Aku kurang kenal sama dia"
    "Koq bisa? nama kalian kan akhirannya sama-sama 'DI'"Aku
    "Karena nama kita akhirannya sama-sama 'DI' bukan berarti kita harus serba tahu dong"
    "Iya sih"aku
    "Sebetulnya aku sama Jodi satu kelas waktu SMP kelas 9"Edy
    "Satu kelas? tapi koq dia biasa aja ya waktu lihat kamu?"Aku
    "Entahlah, dia orangnya penuh misteri. Yang aku tahu dia punya sebuah sepatu kesayangan. Dulu sepatunya pernah hilang sebelah.
    Hal itu yang bikin rame ketika di kelas. Ketika SMP"
    Aku mengangguk-anggukkan kepala sambil mendengar cerita Edy.
    "Dy, gimana kalau sekarang kita sembunyiin sepatunya si Jodi?"Tawarku
    "Kampret! Kenal juga baru tadi. Masa mau jahil ke orang"
    "Denger ceritamu aku jadi penasaran. Bagaimana reaksi Jodi nanti. Itung-itung salam perkenalan"Dengan yakin aku menawarkan ide jahilku.
    "Aku pengen liat mata marahnya"Lanjutku
    "Hahahh.. terserah lu dah tong"Jawab Edy
    "Aku gak ikutan"Lanjutnya
    Aku dan Edy di perpus sejak jam 11:00. Karena tak ada guru, kami memanfaatkan waktu kosong ini dengan mengerjakan tugas penjas. Sekarang sudah jam 12:11. Sesuai rencana Edy akan memberitahuku yang mana sepatu Jodi. Aku berencana menyembunyikannya dan membuat semacam permainan jahil. Kami berjalan melewati jajaran meja-meja belajar perpus menuju ke luar perpustakaan. Edy menunjukkan yang mana sepatu Jodi di rak berjejer.
    "Loh.. koq gk ada ya"Ucap Edy pelan
    "Iya koq gak ada ya"Ucapku pelan
    "Dy... sepatu aku hilang dy..."Kataku kepada Edy dengan nada panik
    "Loh koq bisa"Jawa Edy
    Niatku menyembunyikan sepatu orang. Tapi malah sepatuku yang hilang. Haduh. Apakah ini hukum karma.
    "Aaaa.. sepatu VANSKU hilang"ucapku panik
    "Tenang aja itukan KW"Timpal Edy
    "Iya sih.."
    Akhirnya aku memutuskan untuk bertanya ke Pak Hendrik. Siapa tahu dia tahu. Aku sedikit takut sebetulnya. Mata kecil berlapis kacamata itu sedang fokus membaca buku tentang reproduksi. Reproduksi amuba. Lidahnya menjilati jari yang perlahan membuka halaman.
    "Maaf pak. Sepatu saya hilang. Apa bapak melihatnya?"
    Pak Hendrik lalu mengangkat kepalanya. Melebarkan mata sipitnya dan lalu memandang mataku.
    "Kamu tahu? Saya ini penjaga perpustakaan. Bukan penjaga sepatu."Jawab pak Hendrik
    "Tapi kan pak rak sepatu juga merupakan bagian tak terpisahkan dari perpustakaan"kataku
    "Saya tidak memonitor sepatu kamu. Jika sepatu kamu berbentuk kotak dan ada di rak buku maka itu menjadi tanggung jawab saya. Coba tanya ke penjaga sekolah yang mengepel lantai depan perpus barusan. Atau..."Pak Hendrik
    "Atau apa pak?"
    "Atau kamu cari anak bernama Boni. Dia anak kelas 10. Belakangan dia suka kesini"Pak Hendrik
    "Kelasnya kelas 10 apa ya pak?"Aku
    "Cuma itu informasi yang bisa saya berikan. Terimakasih"Pak Hendrik
    "Ta... Ta... Tapi pak.."Aku
    "Udahlah Da"Kata Edy sambil menarik lengan bajuku. Aku dan Edy berdiri di depan meja Pak Hendrik.
    "Aku pernah dengar anak yang namanya Boni itu. Sekarang kita ke kantor dulu. Kita kumpulin dulu tugas Penjas ini."Ucap Edy
    "Tapi aku gak ada sepatu di"Aku
    "Pakai sendal perpus dulu"Edy
    "Okay"Aku
    Aku berjalan memakai sendal perpus. Karena kontur sekolah kami yang tidak beraturan. Naik dan turun. Kami berjalan ke atas menuju kantor. Kebetulan perpustakaan ada di bawah kantor atau ruang guru. Tepatnya perpustakaan ada di samping ruang tata boga. 10 Meter dari pintu ruang guru, aku palingkan sedikit kepalaku ke arah kanan. Ke arah lapang serbaguna. Biasanya ada gadis-gadis paskibra cantik yang sedang latihan di sana. Namun bukannya gadis cantik, yang ku lihat malah seorang siswa lelaki gendut bertopi copet sedang menaikkan sebuah sepatu ke atas tiang bendera. Langkahku terhenti. Tanganku masih memegang makalah penjas ini. Mataku menyipit. Aku perhatikan dengan seksama. Sepertinya aku kenal sepatu itu. Refleks aku lari menuju lapang dan berteriak.
    "KAAMPPPRETTT..."
    "TURUNIN!! BALIKIN SEPATU GUEE!!!"Aku berteriak mengagetkan Edy yang wajahnya terpaling ke arah lapang.
    Aku sadar, siswa lelaki bertopi copet itu pastilah Boni yang di bicarakan Pak Hendrik. Boni berlari kencang. Keluar dari lapang melalui pintu belakang. Aku terhenti di tiang bendera dengan nafas yang memburu. Sepatu VANS KW ku sudah berkibar tinggi di ujung tiang bendera yang tinggi itu. Menjadi sedikit basah karena sisa basahan hujan yang belum habis. Katakanlah gerimis. Aku tidak bisa menurunkan sepatuku. Kunci tiang bendera di bawa lari Boni yang sedang di kejar Edy. Hah. Aku menyesal sebelumnya. Aku menyesal telah berniat jahil. Malah aku yang di jahili.
    "Hei.."
    "Kamu butuh ini kan?"
    Tanpa aku sadari sudah ada orang di samping kiriku. Aku lihat tangannya memegang kunci tiang bendera. Lengan bajunya sedikit kotor. Suaranya tak asing bagiku.
    "Eh.. heii..."Aku bergumam
    "Koq kuncinya kerekan bendera ada di kamu?"Lanjutku
    "Dari tadi jatoh di sini"Kata Jodi
    "Cepet turunin sepatu kamu. Nanti hujan malah besar dan sepatu kamu jadi makin basah"Saran Jodi kepadaku
    "Eh, iya iya"
    Dengan kunci yang diberikan Jodi aku turunkan sepat VANS KW ku. Seperti kata Jodi hujan semakin deras. Hujan membasahi sekolah dan orang-orang yang tidak punya tempat berteduh. Suara hujan berisik sekali. Namun anehnya malah membawa tenang. Seolah memberi perasaan damai dan nostalgia. Memaksa memori untuk mengingat hari kemarin. Hari ini akan segera menjadi masa lalu. Ketika Hujan semakin deras Aku dan Jodi bergegas mencari tempat berteduh. Kami duduk di kursi depan kelas 12 yang tidak jauh dari lapang. Tepatnya menghadap ke arah kerekan bendera. Jaket yang kami pakai menyelamatkan kami dari hujan. Walaupun sebetulnya tetap saja sedikit basah di bagian kepala dan celana(dan rok).
    "Aduh maaf ya. Makalah penjas yang sedari tadi kamu bikin di perpus jadi basah"Aku meminta maaf pada Jodi.
    "Iya sih. Apa boleh buat. Harus bikin dari awal lagi. Tapi bukannya makalah kamu juga basah? Gara-gara kamu sih banya ngelamun"Jodi menyalahkanku.
    "He.. he.. he.."Aku tertawa kecil
    "Kasihan. Sepatu kamu basah sekali. Mungkin kamu harus nyeker di kelas"Jodi mengejekku.
    "Ah enggak juga, masih ada Sendal perpus."Aku mengelak. Lalu mataku memandang ke arah sepatu Jodi. Beberapa detik aku terpaku pada sepatu itu.
    "Baru kali ini aku lihat sepatu yang seperti itu"Kataku ke Jodi
    "....."Jodi tidak menjawab
    "Aku kadang suka bingung. Beberapa orang membeli sepatu yang harganya sampai 1jt bahkan lebih. Mungkin alasannya "GENGSI". Padahal sepatu itu hakekatnya cuma buat di injek-injek, kan?"Aku coba mengajak Jodi mengobrol.
    "Kebalikan dari manusia. Terlihat gaya dan gengsi. Ingin punya nama yang tinggi. Ingin di pandang hebat. Ingin punya jabatan. Ketika tinggi, dia yang menginjak-injak orang lain"Aku
    "Kamu nyindir aku?"Jodi memalingkan kepalanya ke arah kiri. Memandang aku yang ada di sampingnya.
    "Hahaha, jangan di anggap. Cuma basa-basi, koq"Aku mengelak dengan tawa yang terpaksa.
    Lalu Jodi kembali meluruskan pandangannya ke depan.
    "Kamu tahu? sepatu ini sudah lama nempel di kakiku. Banyak cerita seiring langkahnya"Jodi
    "HAH? Jadi sepatu itu menempel sama kulit kamu? Waduh harus di operasi tuh. Bahaya."Aku
    "HAHAHA! Aneh kamu. Logikanya pakai dong"Jodi
    "Kotak Logikaku sedang rusak"Aku
    Jodi diam sejenak.
    "Beberapa orang kadang merasa lega ketika ceritanya di dengar orang lain. Seperti acara-acara di TV. Namun beberapa orang yang lain lebih nyaman menyimpan cerita hidupnya sendiri. Menikmati sensasi tersendiri di hatinya"Jodi.
    "Kamu Bohong"Kataku tegas.
    "Hati itu organ yang renta. Akan semakin kuat jika di dekatkan dengan orang-orang yang kamu percaya. Waktu akan membuatnya berevolusi di masa depan"Kataku pura-pura bijak. Biar keren.
    "Masa depan ya"Jodi
    "Sebentar lagi kita lulus loh dari sekolah ini, kamu mau kemana?"Tanya Jodi.
    "Ummm... banyak sih"
    "Aku ingin jelajahi nusantara dan juga keliling dunia"Aku
    "Kamu?"Tanyaku pada Jodi
    ".........."Jodi terdiam
    "Adakah yang tersirat di benak kamu? Melintasi luasnya dunia yang luas terbentang?"
    "Gemerlapnya Las Vegas atau Eiffel di paris? Tidakkah membuat kamu tergiur untuk berjemur di hawai?"Tanyaku panjang lebar pada Jodi.
    "Aku.. Aku.."Jodi
    "Aku ingin membawa sepatu ini ke tempat seseorang. Orang yang dulu memberikannya padaku. Aku ingin berkunjung ke makam Ayahku. Ke California"Kata Jodi pelan.
    Jodi terlihat sedikit sedih. Matanya terlihat aneh.
    Hujan memaksanya untuk bercerita.
    "Maaf ya. Aku tak maksud.. buat kamu sedih"Aku sedikit menepuk pundak Jodi.
    Hujan mulai mereda. Langit berhenti menangis. Sinar matahari menembus awan gelap yang sedari tadi tak mau pergi.
    "HAI KALIAN! JANGAN PACARAN DI SINI!"Terdengar teriakan kesiswaan. Refleks tanganku lepas dari pundak Jodi.
    "()&*TGoijkljlY*&(^"Aku bicara tidak jelas
    "Ayo Jod. Kita ke Perpus lagi. Kita bikin ulang tugas kita supaya dapat nilai bagus. Si Edy akan bantu kamu. Dia Jago gambar loh. Dia akan bantu kamu gambar gaya Renang yang pakai wajah artis korea, KIM BULDAN. SEMANGAT!! Suatu hari kamu pasti bisa jenguk ayahmu di California sana. Jangan lupa terus kirim doa"Kataku sok bijak dengan mata berbentuk hati. Biar semakin terlihat ke-lelakianku.
    "Makasih ya. Eh aku belum tahu nama kamu loh. Nama aku Jodi. Jodi Melani."Jodi tersenyum sambil memberikan tangannya padaku.
    "Nama aku Yoda Nugraha. Teman-teman biasa panggil aku dengan nama Yoda. Kalau keluarga biasanya manggil aku dengan nama Yoda. Kamu boleh panggil aku dengan nama Yoda"
    "Okay. Aku akan manggil dengan nama 'Nugrah' "
    "Oke deh sis"Aku
    Kami lalu berjalan kembali ke perpustakaan. Mungkin Edy dari tadi sudah menunggu di sana. Benar saja ketika kami masuk ke perpus, Edy sudah di sana bersama si Boni. Setelah itu kami duduk bersama seperti sebelumnya. Di meja paling belakang dari pintu masuk. Dekat tiga komputer perpus. Meski hujan sudah reda namun perpustakaan masih tetap penuh. Boni ada di genggaman Edy. Dalam interogasi Edy.
    "Maaf pak. Sepatu saya hilang. Apa bapak melihatnya?"Terdengar suara seseorang. Tepatnya di hadapan Pak Hendrik
    Pak Hendrik lalu mengangkat kepalanya. Melebarkan mata sipitnya dan lalu memandang mata siswa itu.
    "Kamu tahu? Saya ini penjaga perpustakaan. Bukan penjaga sepatu."Jawab pak Hendrik
    "Tapi kan pak rak sepatu juga merupakan bagian tak terpisahkan dari perpustakaan"kata siswa itu
    "Saya tidak memonitor sepatu kamu. Jika sepatu kamu berbentuk kotak dan ada di rak buku maka itu menjadi tanggung jawab saya. Coba tanya ke penjaga sekolah yang mengepel lantai depan perpus barusan. Atau..."Pak Hendrik
    "Atau apa pak?"
    "Atau kamu cari anak bernama Boni. Dia anak kelas 10. Belakangan dia suka kesini"Pak Hendrik
    "Kelasnya kelas 10 apa ya pak?"Kata Siwa itu
    Lalu Pak Hendrik yang tempramen itu berteriak keras.
    "ITU BONI ADA DI SANA"Teriaknya sambil menunjuk ke arah kami. Ke arah Boni. Semua orang yang ada di perpustakaan tiba-tiba mereka semua memandang ke arah kami.
    -
    -
    -
    -
    Aku dan dua kawanku ini hanya tertawa sambil memegang pensil.
    Sedangkan Boni, dia siap untuk di Eksekusi.

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar